Wednesday, September 29, 2010

Ketika Anak Harus Bersegera Membaca, Sebuah Self-Testimony

Dokumen ini ditulis untuk Child Center (Rintisan Laboratorium Tumbuh Kembang Anak)

Menumbuhkan konsentrasi (belajar) bagi anak dapat dibilang rumit. Apalagi anak seusia taman kanak-kanak. Anak dengan usia ini masih demam bermain, bergerak, melawan abis ketika diminta disiplin diri belajar, apalagi diminta untuk belajar membaca. Ritual-ritual kognitif masa pre-school sudah mulai dipancangkan pada anak-anak usia ini. Mereka diajari mengeja, bahkan diberi pekerjaan rumah menulis kalimat panjang, sementara anak sendiri belum bisa membaca.

Malam ini, dan beberapa hari setelah masa liburan lebaran, anak kedua kami terasa berbeda. Butuh rekondisi untuk mengembalikan kebiasaan bangun pagi, mandi, sarapan, berangkat sekolah. Kalau malam hari belajar mengaji dan membaca serta aktifitas lain yang terkait dengan tugas-tugas sekolah. Terlalu lama libur dengan ragam aktifitas non-sekolah nampaknya menggeser kebiasaan rutin dia. Sebagai orang tua, kami menghadapi perilaku menolak anak yakni kegiatan belajar membaca.

Di masa perkembangan usia sekolah, seperti biasa, para orang tua akan khawatir jikalau anaknya tidak bisa membaca. Apalagi kalau dibanding-bandingkan dengan teman sebayanya. Oh…si Uni sudah bisa membaca…kamu harus juga bisa..masak tidak malu. Perasaan ini menghantui pada proses pengasuhan sebagian orang tua. Terkadang, orang tua panik. Pergi ke psikologi mengetes perkembangan inteligensi anak. Orang tua gusar dengan memaksa anak untuk disiplin diri membaca. Tekanan demi tekanan orang tua terhadap anak untuk segera bisa membaca menjadi obsesi yang terkadang bertolak belakang dengan kebutuhan usia perkembangan anak.

Saya melihat anak kedua kami tidak buta huruf atau mengalami gangguan belajar seperti mengarah ke dislexia. Suatu ciri adanya gangguan membaca atau menulis pada anak. Perasaan ini menjadi kendali bahwa anak kami tidak mengalami kendala pada memori karena, dia mampu mengingat huruf a – z dengan sempurna. Begitu juga dengan angka.

Kami juga telah berpikir bahwa tidak begitu dibutuhkan obsesi berlebihan agar anak mampu membaca sejak dini. Bagi kami, sudah cukup untuk tahap perkembangan usia taman kanak-kanak, anak-anak berkembang motorik dengan ragam aktifitas kinestetik, kemampuan berbahasa dengan dicirikan mampu bercerita, berkomunikasi dengan teman sebaya. Secara kognitif mampu membuat imajinasi, bertanya-tanya dengan pertanyaan-pertanyaan menggelitik. Ketrampilan menggambar, mereplikasi tulisan, menghafal angka, nama-nama pemain sepak bola, atau mereplikasi realitas menjadi sumber-sumber inspirasi bermain.

Sekali lagi, kami saling bertukar ide, mengapa kurikulum di taman kanak-kanak terlalu menuntut anak-anak membaca ? Kami juga sempat berang pada guru TK anak kami yang pertama. Ketika dicap anak kami lamban atau tidak bisa membaca di kelas TK B, kami mendatangi guru TK dan mengatakan,

“persoalan membaca untuk anak kami bu..bukanlah sebuah kegiatan yang dipaksa-paksa, apalagi di usia sekarang. Bagi kami, untuk sementara anak kami tidak bisa segera mampu mengeja dengan benar kata-kata tidak menjadi masalah. Menurut kami, apa yang ia suka sajalah yang dihargai, tidak dimaki dibanding-bandingkan kompetensi membacanya dengan anak-anak lain yang mungkin lebih cepat kemampuan membacanya. Tidak! Biarlah kompetensi yang paling ia sukai terlebih dulu yang didorong dan difasilitasi..”

Dunia kompetensi anak di Indonesia, untuk kasus-kasus spesifik, telah mendikte kompetensi anak pada dunia logosentrisme yang terlalu kognitif minded. Bahkan saya merasa, dunia perkembangan anak telah dipenjara menjadi kurikulum sekolah yang tiada terkompromi oleh dinamika perkembangan anak yang begitu kaya talenta dan kreatifitas.

Menumbuhkan konsentrasi partisipatif anak pada belajar membaca
Logosentrisme sekolah ini, pada akhirnya juga memaksa kami putar otak agar anak-anak kami bisa berkompromi dengan target sekolah yang tidak ada ampun. Nah, di sini kami akan bercerita tentang menumbuhkan konsentrasi partisipatif ketika anak kedua kami seringkali menolak ketika diajari membaca dengan text book yang telah disusun dengan ejaan kata-kata standar dari sekolah atau penerbit.

Kami menggunakan buku tulisan Tanti Yuniar, Belajar Membaca 1B, terbitan Agung Media Indonesia. Buku ini berisi pilihan kata yang kebanyakan disusun dari dua suku kata agar anak-anak mudah mengeja. Anda tentu banyak mengenal buku-buku semcam ini. Suatu contoh saya kutip di buku ini.

sa pu i bu sa tu
de wi ba wa bu ku
Kalimat-kalimat dalam buku ini disusun sangat akrab dengan pengalaman anak-anak, seperti kalimat roda bemo tiga, kaca mata mama, ada rusa dua dan seterusnya.

Buku dan kalimat-kalimat ini tidak menjadi magnet bagi anak saya yang kedua. Apa yang terjadi. Selalu saja ibunya, dan saya juga menjadi naik pitam, gregeten, dan stress ketika memasuki pelajaran membaca. Anak kami bukannya tidak bisa membaca, tetapi tidak terlalu tertarik dunia membaca. Dia tidak buta huruf karena dia juga bisa mengeja dan mengenali huruf sudah sejak lama. Kami memang mengajari anak kedua kami secara kontekstual. Meskipun belum bisa membaca, dia seringkali melakukan aktifitas menulis angka-angka punggung pemain sepak bola lokal dan internasional dengan menirunya di kertas-kertas yang kami sediakan setiap hari. Memang anak kami kedua, kadung jatuh hati pada bola. Kami juga mengajari mengenali huruf pada jalur-jalur angkutan kota ketika di jalan. Saat berada di belakang angkutan kota, kami mencuri perhatian anak kami kedua untuk mengingat huruf LDG, JPK, LG, GL, AL. Setiap kami berada di jalan dan berpapasan dengan angkutan kota, kami selalu menunjuk huruf-huruf jalur angkutan kota sebagai bahan mengasah daya ingat terhadap abjad.

Kami merasa heran juga. Anak ini tidak buta huruf tetapi mengapa susah diajari mengeja. Anak ini selalu bereaksi gengsi ketika disodori pengeja-pengeja untuk latihan membaca. Terasa frustrasi, putus asa, khawatir dan berujung marah.

Kami kemudian memutar otak. Anak kami ini sangat gila bola. Dia seringkali menulis Nur Alam Shah, Njanka dan beberapa pemain Arema lain sebagai bahan bermain dan belajar menulis. Dia melakukan sendiri secara suka rela. Dia merasa mencintai bola dengan cara-cara menulis kembali pemain-pemain tersebut. Kami kemudian terinspirasi dengan gelagat-gelagat dia. Langsung kami mengambil kertas kosong dan menyingkirkan buku pengeja yang ditulis oleh Yuniar. Bukan maksud mendiskriminasi karya Yuniar, tetapi buku ini sudah tidak menarik konsentrasi anak kami.

Kami kemudian berputar pikiran untuk hunting suku kata-suku kata pada seluruh jejaring kata yang akrab untuk dunia bola. Syahdan. Kami terkejut, dari awal tidak tertarik sama sekali, anak kedua kami mulai tertarik dan memusatkan perhatian penuh pada pengeja-pengeja yang kami konstruksi dan bahan-bahan sepak bola. Suku kata itu seperti berikut ;

SAYA LARI BAWA BOLA
BOLA DIBAWA ALUL
BOLA DIBAWA ALUL ADA SATU
ALUL BELI BOLA
KAKA BAWA MESI
GELANG WARNA BIRU
PERSIJA
PERSEMA

Anak ini justru meminta kami, apalagi bu… begitu seterusnya. Kami dan dia berdiskusi untuk mencari kata-kata apa saja yang akan ditulis dan dieja. Situasi partisipasi terbangung antara kami dan anak kedua kami. Daya tarik dan konsentrasi bertahan. Dia merespon dengan gelak tawa. Merasa bahwa ada pengakuan atas talenta atau kesukaannya.

Kami merasa sudah cukup waktu yang digunakan untuk belajar mengeja. Namun, tidak disangka, dia kemudian menghidupkan komputer dan meminta agar, kata-kata yang sudah dieja dan ditulis tadi diketik pada komputer dan minta diprint out warna.

Kami merasa mempunyai kesempatan kedua untuk belajar mengeja. Dia memang sudah akrab dengan komputer, bisa mengoperasikan microsoft word untuk mengetik. Dia juga mampu memperbesar size huruf dan secara mandiri mampu mengoperasikan print-out.

Nah bagi kami ini adalah peluang melibatkan partisipasi anak kami untuk membangun konsetrasi secara terintegrasi. Sembari mengasah ketrampilan melek teknologi kami menggerakkan rasa ingin tahu dia untuk mencari suku kata yang akrab dan mampu dia eja dari kata-kata seputar sepak bola. Sembari saya mendampingi dia, saya membantu menemukan inisiatif dia untuk menulis tokoh, kata kerja atau hal-hal yang berbau bola. Akhirnya melalui inspirasi dia, terkonstruksi suku kata berbau bola. Saya membantu mengeja. Menulis dulu baru mengeja atau mengonstruksi kata dengan menanyakan suku kata agar dia mampu mengonstruksi kata-kata yang dia maksud.

Berikut kata-kata yang berhasil dikonstruksi oleh si dianya,

KAKA
KAKA LARI
KAKA BELI BOLA
KAKA JADI JUARA
KAKA LARI BAWA BOLA
AREMA
AREMA
JUARA
LIGA
ALAMSHAH
Dia mengolah suku kata ini menjadi warna warni pada layar komputer. Sedikit bantuan dari saya untuk mencari warna pada font di program word. Selebihnya dia mampu mengimproviasi secara mandiri. Berikutnya, dia mengoperasikan print-out untuk melihat hasil kreasinya di kertas A4. Dari persoalan ribut mengajari mengeja berujung pada sebuah karya. Karya ini kemudian kami jadikan sebagai arsip yang dapat dilihat sewaktu-waktu.

Apa yang kami rasakan, proses mengeja atau belajar membaca sejatinya bukan persoalan mampu mengeja kata demi kata, tetapi kami berdinamikan untuk saling menghayati dunia keseharian. Sebuah kegiatan menulis ulang pengalaman-pengalaman kami. Dengan begitu kami merasa ada dunia yang berarti bagi proses belajar. Dari proses ini jalinan interaksi kami menjadi dinamis, tidak hegenomik. Dunia canda dan gelak tawa mewarnai proses menulis cerita-cerita sepak bola dalam suku kata-suku kata. Membaca menjadi sebuah kebutuhan bukan keterpaksaan. Membaca dengan demikian bagi anak adalah memberi tahu kepadanya sebagai bagian dari kehidupan, bukan kewajiban PR sekolah.

Perlu Kurikulum Kontekstual
Saya teringat pada pengembangan kurikulum berbasis KTSP. Metode belajar diambil dari pengalaman kontekstual anak, talenta anak, hobby, atau kesukaan anak. Termasuk metode membaca. Pendekatan belajar ini membantu hampir 100 persen konsentrasi anak. Anak difasilitasi curiosity (rasa ingin tahu)-nya sehingga membantu perkembangan kognitif anak begitu maksimal. Pendekatan berbasis pengalaman anak mendorong bentuk pengasuhan yang ramah anak dan memaksimalkan partisipasi anak dalam belajar. Tidak ada unsur pemaksaan dalam belajar. Darinya muncul kekuatan untuk mencipta, bukan kegiatan meniru yang tidak mencerdaskan.

Anak-anak dihargai eksistensinya. Bakat atau kesukaan di bidang sepak bola, misalnya, dijadikan sumber belajar. Di sini ada proses pemanusiaan dalam kegiatan belajar. Dunianya diberi ruang eksistensi. Bahkan, maunya hanya mengajari satu kompetensi, dengan menghadirkan partisipasi anak, maka yang berkembang justru multikompetensi. Ada kompetensi kognitif, ada pengakuan bakat dan ada kemampuan ketrampilan melek teknologi.

Bagi kami, kegiatan ini adalah investasi bagi upaya pengembangan “kurikulum keluarga” sebagai bagian dari kegiatan-kegiatan pengasuhan. Apakah anda juga mempunyai pengalaman yang sama atau lebih maju lagi ? Jika iya, ayo galakkan kurikulum keluarga untuk memanusiawikan anak-anak kita dalam kegiatan belajar.

1 comment:

kak zepe said...

Saya ada lagu yang bermanfaat agar anak bisa belajar membaca sambil bernyanyi…
Sudah banyak dipakai di TK dan Paud se-Indonesia…pasti akan sangat bermanfaat
Dapatkan pula lagu3 pandidikan anak lainnya secara GRATIS!!
Klik saja:
http://lagu2anak.blogspot.com/2010/07/blog-lagu-dongeng-pendidikan-anak.html