Sunday, October 03, 2010

NU dan Etika Pluralisme

Surabaya, Qita Online. Kehidupan toleransi masyarakat ditengarahi mengalami penurunan signifikan ditandai dengan dua hal, yakni penolakan pendirian sejumlah gereja dan penolakan umat muslim terhadap permintaan guru agama di luar Islam di beberapa sekolah umum, jelas Tholhah Hasan saat menguji promosi doktor Lutfi Musthofa di program doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya pada Kamis, 30 September 2010, pukul 08.30 – 12.00. Lutfi Musthafa mempertahankan disertasi berjudul “Etika pluralisme dalam nahdlatul ulama, gagasan dan praktek pluralisme keagamaan warga nahdliyin di Jawa Timur”, dengan predikat cumlaude.

Lutfi Musthofa mengangkat kajian etika pluralisme karena didasari oleh tiga isu utama di Jawa Timur terkait dengan kasus yang menodai pluralisme sebagai etiket berbangsa dan bernegara. Jawa Timur telah memunculkan realitas penyesatan, pembubaran dan pengusiran terhadap sejumlah kelompok agama oleh karena kelompok ini berbeda keyakinan dengan penganut Islam mainstream. Adanya upaya pengawalan munculnya Perda berbau syariat oleh eksponen NU seperti pewajiban jilabab bagi guru dan siswa perempuan di Bangkalan, dan mendukung munculnya Perda pembubaran prostitusi di Blitar dan Jombang. Adanya penolakan dari golongan tua NU (Kyai pesantren) terkait gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh kaum muda NU tentang pluralisme.

Alasan ini menjadi bagian dinamika NU untuk menyikapi pluralisme sebagai bagian dari metamorfosis kehidupan beragama. Menurut Lutfi Mustofa, yang menjabat sebagai Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang, etika pluralisme di kalangan NU berkembang dalam tiga jejaring kelompok agawaman.

Di kalangan struktural NU pluralisme direpresentasikan melalui berbagai aktifitas Lakpesdam NU. Yang kedua direpresentasikan oleh komunitas kyai pesantren. Dan ketiga, gerakan yang diwakili oleh anak-anak muda NU yang aktif di beberapa NGO di Jawa Timur. Di antara ketiga jejaring ini, representasi kyai pesantren, pluralisme lebih dimaknai bersifat normatif. Sikap normatif ini merupakan bentuk kehati-hatian para kyai dalam memberikan keteladanan tentang pluralisme. Mereka bukan menolak, tetapi mencoba membangun artikulasi pluralisme yang betul-betul memiliki landasan teologis sehingga tidak menjadi sikap yang gegabah.

Begitulah senarai yang bisa saya sampaikan ke pembaca, ketika menghadiri promosi sidang Doktor Lutfi Mustofa. Selamat Dr. Lutfi Mustofa, kami menunggu peran beliau untuk mereplikasi temuan penelitian disertasi menjadi gerakan yang dibangun di Malang. Selain kolega, beliau adalah senior saya yang mengkader saya dan mewariskan semangat pergerakan ketika masih aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Beliau, kalau tidak salah, orang ketiga di UIN Maliki Malang yang meneliti tentang pluralisme. Kedua selain beliau adalah Dr. Umi Sumbullah, M. Ag dan Dr. Zainuddin, MA. Jika anda ingin lebih jauh mendalami tentang pluralisme yang ditelitinya, silahkan membaca hasil penelitiannya, mengundang beliau untuk diskusi atau menjadi bagian dari pelaku untuk menjaga semangat pluralisme dalam aksi-aksi perdamaian antaragama di Jawa Timur.

Saya pribadi, sebagai yuniornya, selamat Mas…ganti aku yang didorong ya..biar segera selesai juga….Tangan terkepal maju ke muka.

2 comments:

mlutfimustofa said...

Terima kasih sobat atas apresiasinya, bagi saya pluralisme sebagai instrumen berbangsa dan berislam merupakan keniscayaan, karena nyatanya kita hidup ditengah-tengah pluralitas dan diversitas suku, agama, bahasa, etnis, dll. Khususnya bagi kita, kaum nahdliyyin, promosi dan penegakan kesadaran pluralisme lebih dari sekadar mengejawantahkan prinsip-prinsip dalam haluan bermazhab yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderat, keseimbangan, dan toleransi, lebih dari itu ia merupakan sarana bagi komunitas NU--terutama di Jawa Timur yang ditengarai sebagai kawasan yang disebut kaya dengan pluralist endowments ini--untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama yang damai. Semoga gagasan dan praktik pluralisme yang telah dipromosikan dan ditegakkan oleh para founding father NU dan generasi mudanya dapat mengilhami semua eksponen kaum santri yang lain untuk menjadi NU dan menjadi Indonesia yang sejati. Disertasi yang sedang sobat susun, kalau saya tidak salah, juga memiliki dimensinya sendiri yang ikut memperkuat nilai-nilai dan kesadaran pluralisme, yakni melalui elaborasi cerita-cerita rakyat yang kaya dengan kearifan lokal. Disertasi yang baik, bukan hanya yang bisa diselesaikan pada waktunya, tetapi lebih dari itu adalah yang mampu merefleksikan idealisme penulisnya dan memenuhi hasrat keilmuan zaman dan tempatnya. Saya yakin, sobat mampu mewujudkannya lebih dari yang menjadi harapan komunitas dan sahabat-sahabat dimanapun mereka berada. Inilah saatnya kita berikan ilmu dan bakti pada negeri ini. Salam pergerakan, tangan terkepal dan maju ke muka....!!!

Unknown said...

Oke pak, bgus kayakx isu yg di angkat di desertasi itu. sebuah spirit baru untuk mengembangkan pluralisme ditengah bangsa ini kehilangan bapak sekaligus simbol pluralisme yakni gus dur. Kapan2 kalo gak keberatan, tak undang untk diskusi desertasinya di rayon pak. . , itung2 membuka wacana baru bagi sahabat2 yg laen. . ,