Saturday, July 17, 2010
Antara Konservasi dan Hasrat Wisata
Isu hutan dan kelangsungan sumber air di Kota Batu adalah masalah serius hari ini. Kepala Badan Lingkungan Hidup dalam sebuah dialog di TV lokal memimpikan pentingnya pengolahan lahan produktif di daerah DAS Brantas (Sumber Brantas, Bulukerto, Sumbergondo, Tulungrejo dan sekitarnya) dengan prinsip kelola lahan yang ramah terhadap tanah agar hutan di sepanjang sumber Brantas tetap mampu menyimpan air. Obsesi ini menjadi penting terkait krisis kondisi kehilangan dan penyusutan debit sumber air di Batu yang cukup signifikan terutama untuk sumber air di Gemulo, Binangun dan Banyuning yang sebagian dimanfaatkan untuk PDAM Kota Batu dan Malang mengalami penurunan debit dari 250 menjadi 230 liter/detik untuk satu tahun terakhir.
Ari Saudi di koran ini (Kompas, 5/11/2009) menggambarkan kondisi air Batu mengalami titik balik. Ada 11 mata air mengering, 46 mata air mengalami penurunan debit dari 10 m3/detik menjadi 10 m3/detik dan menghilangnya sumber air dari 170 sumber air di tahun 2007 menjadi 46 mata air di 2009. Kondisi tersebut juga bersinergi dengan keberadaan lahan hutan di Jawa yang sekarang menyusut hanya mencapai empat persen daerah yang tertutup hutan. Padahal berdasarkan ketentuan nasional bahwa untuk setiap wilayah pemerintahan diperlukan 30 persen kawasan vegetasi (tertutup hutan) (Kompas, 3/12/2009).
Temuan penelitian Kustamar yang diberitakan oleh Kompas (20/02/2010) menggambarkan lahan Kritis Kota Batu sudah mencapai 10.409 dari total lahan 19.908 hektar dan 51 persen merupakan lahan sangat kritis. Masalah hutan juga mendapat perhatian serius pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2009 di Kopenhagen yang juga diharapkan mempercepat tindakan nyata untuk mengurasi emisi gas rumah kaca secara realistik dan menargetkan bahwa di tahun 2020 emisi yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan dan degradasi lahan mampu ditekan sampai 0 persen.
Pemerintah Kota Batu sudah berinisiatif melakukan konservasi dengan beberapa strategi pemberdayaan komunitas desa sekitar hutan seperti mengajak partisipasi masyarakat untuk sadar terhadap kelola lahan produksi yang ramah terhadap lahan, menerapkan terasiring yang mampu mencegah erosi dan mengajak masyarakat desa sekitar hutan untuk mulai merubah jenis tanaman dari yang merusak tanah seperti sayur-sayuran ke bentuk produksi pertanian Kopi Torabicca dan Apel. Penelitian Sriharini dkk, (2009) menunjukkan bahwa masyarakat mulai menginisiasi perubahan jenis tanaman dan berhasil memediasi bargaining masyarakat berupa konsinyasi hak kelola hutan dengan dinas Perhutani. Hasil ini merupakan langkah signifikan sebagai jalan keluar seiring tradisi konflik kelola hutan yang biasa terjadi antara Perhutani dengan masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan.
Kerusakan hutan dan lahan di Sumber Brantas adalah masalah bersama dan pemerintah perlu memiliki keterlibatan aktif di aspek kebijakan dan politik konservasi untuk menjaga dari setiap upaya tindakan eksploitatif atas pengelolaan hutan. Usaha konservasi ini nantinya akan berhadapan dengan berbagai persoalan yang terkait dengan obsesi pembentukan icon baru melalui pelebaran sayap industri pariwisata. Artinya, bahwa usaha untuk memulihkan kondisi hutan dan sumber air di Batu sangat dipengaruhi oleh bentuk-bentuk investasi di bidang pariwisata misalnya terkait dengan pembangunan hotel dan kebutuhan air yang meningkat tajam untuk memenuhi kebutuhan industri-industri wisata baru seperti BNS dan Museum Satwa atau lahan lain yang diincar untuk dibangun wisata baru di Batu.
Pemerintah Kota Batu oleh karenanya harus melindungi hutan dari dua perspektif dan tidak semata menyalahkan masyarakat akibat pemanfaatan hutan yang tidak tepat. Yakni perspektif kendali laju pembangunan pariwisata yang sudah seharusnya menilai bobotnya dari aspek keseimbangan alam atau hutan sebagai penopang utama sumber air dan masyarakat sekitar hutan yang mengelola lahan untuk kebutuhan ekonomi sebagai bagian dari swakelola ramah hutan. Dalam konteks pembangunan pariwisata kota Batu, pemerintah seharusnya juga mengendalikan laju investasi di bidang pariwisata yang akan mengancam kebangkrutan air di Kota Batu dalam konteks mengkaji prosentase dampak pembangunan daerah wisata dengan kebutuhan air. Jika analisis lingkungan ini diabaikan oleh investor dan kebijakan pemerintah Kota Batu tidak mampu mengontrol keseimbangan alam niscaya usaha yang telah dilakukan untuk melakukan konservasi hutan akan digerus oleh kapitalisasi industri pariwisata dalam bentuk pembangunan icon-icon wisata baru di Kota Batu.
Sudah menjadi fakta umum bahwa persoalan air dan dampak atas abainya kita terhadap kelangsungan ekosistem tanah, misalnya pembangunan gedung-gedung baru baik berbentuk Ruko, Perumahan dan Bangunan Lain di Malang Raya telah berdampak pada kerusakan ekosistem tanah akibat menyusutnya secara signifikan resapan air sehingga laju aliran air menyebabkan penggenangan (banjir) di titik jalan raya. Di Kota Batu telah nyata pula bahwa arus air yang amat deras juga terlintas di sepanjang jalan menuju Wisata Selecta ketika terjadi hujan lebat. Laju air di jalan raya tersebut bisa diamati membawa tanah dan kerikil dari atas yang terbawa arus air.
Oleh karena itu kebijakan konservasi hutan di Kota Batu akan berhadapan dengan obsesi pembangunan icon-icon wisata baru. Icon wisata baru penting dalam ranah perlindungan dan konservasi hutan untuk menjaga kelangsungan air yang ditempatkan dalam konteks keberpihakan pemerintah terhadap industri pariwisata yang punya kehendak untuk tidak merusak kelangsungan air dan hutan. Dengan begitu pemerintah perlu melakukan kontrol kebijakan secara ketat terhadap laju investasi di bidang pariwisata dan memilih icon wisata yang ramah terhadap hutan berikut mendorong munculnya keterlibatan masyarakat sebagai sumber daya wisata melalui strategi menghidupkan kembali kebudayaan setempat dan bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat sebagai image wisata di sekita hutan.
Jika kemudian industri wisata yang bersifat kapitalistik tidak mampu dikontrol melalui kebijakan pemerintah niscaya upaya konservasi air dan lahan hutan penjaga air akan kalah karena laju industri pariwisata selalu tidak sebanding dengan rumitnya melakukan konservasi hutan baik karena kendala sistem tanam atau habitus (budaya) masyarakat sekitar hutan dalam memperlakukan tanah hutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Untuk itu isu hutan harus menjadi komitmen penting politik kebijakan pemerintah Kota Batu ke depan.
Label:
sosial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Perlu menjaga hutan
Post a Comment