Friday, July 23, 2010
Pemanasan Global dan Ancaman Ekosistem Bumi
Joyogrand News. Dalam beberapa edisi terbit, Harian Nasional Kompas, 19-22 Juli 2010, meluncurkan sejumlah artikel tentang dampak pemanasan global terhadap bumi dan kesehatan masyarakat. Abrasi pinggir pantai mengkhawatirkan, termasuk di Bali. 346.808 hektar sawah atau seluas 485.725 lapangan sepak bola dan diperkirakan 700 pulau akan terancam tenggelam jika permukaan air laut naik 1 meter, yang mana 5 persen pulau yang tenggelam ini berpenghuni, seperti diungkapkan Armi Susandi, pakar perubahan iklim dari Institut Teknologi Bandung (Kompas,20/07/2010).
Prediksi lahan sawah di pulau Jawa jika tahun 2050 kenaikan air laut mencapai 100 cm, maka ada potensi kehilangan sawah sebesar 119.463 hektar (34,83%). Itu artinya dampaknya akan menggerus produksi pertanian di Indonesia dan para petani akan kehilangan pekerjaannya. Perubahan iklim dan cuaca, seperti banjir dan serangan hama menambah daftar persoalan yang menimpa petani selain aspek politik pertanian, seperti kelangkaan pupuk dan politik harga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari persoalan petani hari ini.
Dampak ini juga terkait dengan ulah manusia, persis dinukilkan oleh Tuhan di surat Ar – Rum 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Nyoman Gelebet, Guru Besar Tata Ruang Universitas Udayana mengatakan abrasi juga dipengaruhi oleh ulah manusia seperti pengerukan pasir di sejumlah tempat seperti pengerukan pasir di Sanur untuk reklamasi Serangan, pengerukan pasir Geger untuk reklamasi Sanur dan uta menyebabkan pantai Nusa Dua juga terabrasi. Selain itu menurut Dinas PU Provinsi Bali, mencatat selain faktor laut, abrasi juga disebabkan oleh pembangunan di tepi laut yang menjorok ke laut tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan (Kompas, 20/07/2010).
Dampak perubahan iklim juga akan mengancam kesehatan masyarakat. Perubahan iklim menyebabkan perubahan cuaca yang berkorelasi dengan berbagai mutasi infeksi dan virus penyakit, termasuk penyakit yang dibawa oleh nyamuk dan binatang lainnya. Meskipun pengaruh ini belum diteliti secara langsung, akan tetapi perubahan cuaca, termasuk lamanya musim hujan menyebabkan kelangsungan hidup nyamuk karena genangan air akan bertahan dalam kurun waktu lebih lama di tempat-tempat genangan air.
Genangan ini merupakan kesempatan pengembangbiakan nyamuk Aedes aegypty yang menjadi penyebaran virus dengue yang menjadi penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD). Perubahan temperatur juga menyebabkan siklus kehidupan jentik juga semakin cepat. Kalau biasanya ditubuhkan 10-12 hari, sekarang karena perubahan temperatur ini kehidupan jentik lebih cepat yaitu menjadi 7 hari.
Kesempatan nyamuk betina untuk mencari mangsa dalam bentuk menggigit intensitasnya meningkat sehingga kemungkinan penularan virus ini juga intensitasnya semakin tinggi. Karenya, peluang orang tertular juga semakin bertambah. Meskipun belum ada analisis lebih lanjut dalam bentuk penelitian tentang dampak langsung antara perubahan iklim dengan peningkatan penyakit menular, tetapi Kompas melaporkan berdasarkan data Kementerian Kesehatan telah terjadi peningkatan kasus dari tahun 2008 ke 2009. Data Kementerian Kesehatan sebagaimana dikutip Kompas (22/07/2010) bahwa di tahun 2008 jumlah penderita DBD 137.469 dengan korban meninggal 1.187 jiwa (0,86 %) dan tahun 2009 meningkat menjadi 154.855 dengan korban meninggal 1.384. jiwa (0,89 %) dengan nilai peningkatan penyakit 12,65 persen.
Pemanasan global tentunya perlu disadari pada level individu. Mengapa demikian ? Karena kesadaran invidividu akan meningkatkan perilaku untuk mencegah terjadinya peningkatan emisi gas rumah kaca. Kesadaran ini terkait dengan pengetahuan individu atas apa yang dilakukan menjadi kebiasaan sehari-hari.
Suatu contoh kecil terjadi pada saat kerja bakti di ruas jalan Joyogrand Malang. Inisiatif kebersihan lingkungan merupakan ide bagus. Tetapi sejumlah orang dengan tanpa pertimbangan, memangkas sejumlah pohon di pinggir jalan. Pohon ini masih segar dan hijau. Mereka tidak menyadari bahwa perilaku menebang sebenarnya merupakan indikator dari upaya tidak melindungi lapisan ozon.
Ketika perilaku ini sistemik dan menjadi kuasa, saya membayangkan berapa pohon yang akan dirusak untuk ambisi manusia demi kebutuhan terang dan tidak menghalangi pandangan (seperti bahasa jawanya, padang jingglang). Saya membayangkan seandainya si penebang pohon tadi adalah kepala desa, dengan alasan personal agar terlihat padang jingglang, dia menginstruksikan kepada seluruh aparat desa agar pohon-pohon yang mengganggu agar dipangkas. Saya tidak membayangkan berapa sumbangan kerusakan lingkungan terhadap obsesi diri ini ?
Selain itu juga komitmen politik untuk mengendalikan kerusakan lingkungan karena alasan sistemik seperti pembangunan infrastruktur ekonomi yang semakin terbukti banyak merusak lingkungan hijau merupakan alasan penting bagi kita untuk mewaspadai efek jangka panjang terhadap ancaman pemanasan global. Tantangannya adalah kapan setiap individu mulai membangkitkan kesadaran diri untuk menilai kembali kebiasaan hidup yang paling kecil, terkait dengan efek perilakunya terhadap sumbangannya pada pemanasan global. Tentu ini perlu disadarkan sejak usia dini, baik melalui pembiasaan di keluarga, atau sistemik ada di sekolah, instansi pemerintah dan tentuk perlindungan kebijakan yang asertif melindungi lingkungan hidup.
Semoga resume tulisan yang saya sarikan dari berita Kompas beberapa hari akan menjadi titik informatif kesadaran setiap orang untuk mewaspadai ancaman pemanasan global dan pada tahap paling kecil untuk merubah perilaku diri sendiri, keluarga, tetangga, teman dan sampai negara (mhp).
Label:
berita
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment